Aku manusia, dan seperti
manusia pada umumnya aku melakukan banyak kesalahan.
Aku manusia, dan seperti
manusia pada umumnya aku ingin merasa dinasehati ketika melakukan kesalahan.
Meskipun terkadang mau dinasehati bagaimanapun juga, kadang hati ini merasa tetap
saja bebal. Seolah-olah masuk telinga kanan, keluar begitu saja melalui telinga
kiri. Atau bahkan masuk telinga kanan langsung keluar juga dari telinga kanan.
Mental begitu saja.
Kita butuh nasehat,
selalu membutuhkannya. Beberapa orang mampu untuk meminta nasehat dari orang
lain, beberapa lagi memilih diam. Mereka memilih diam karena terkadang merasa ‘sungkan’
untuk meminta nasehat dari seorang kawan, guru maupun sahabat. Aku juga begitu.
Terlalu sering malah.
Maka jika kita sudah
meminta nasehat kepada orang lain dan orang tersebut merasa tidak enak untuk
memberikan nasehat dengan terus terang, atau ketika kita dinasehati seseorang yang ada justru kita merasa sebal
dengan orang yang berbicara, mungkin itulah saatnya kita belajar untuk
menasehati diri sendiri.
Lalu bagaimana caranya
untuk menasehati diri sendiri? Banyak caranya. Beberapa orang memilih untuk
merenung di tengah sepi, beberapa orang sepertiku justru memilih untuk
menuliskannya. Ya, aku merasa salah satu alasan kenapa menyukai menulis sesuatu
adalah karena dengan cara itu aku bisa menasehati diriku sendiri. Berbicara
kepada diri sendiri.
Kadang aku menuliskannya
sebagai suatu cerita, yang mana ketika aku membaca ulang aku tahu persis apa
yang melatarbelakangi cerita yang kutulis sebelumnya. Aku tahu persis apa pesan
cerita tersebut dan kenapa aku menuliskannya. Kadang sebuah cerita, kadang
hanya sebuah tulisan lepas yang tak memiliki tema khusus dalam penulisannya.
Ketika kutuliskan sebuah
cerita seorang anak kecil yang marah-marah karena mainannya rusak di tangan
temannya, di saat itu pula aku sedang merasakan hal yang sama dan cerita
tersebut akan berakhir dengan poin memaafkan. Tentu hal itu bukan berarti aku
sedang marah dengan teman karena mainanku dirusak. Itu hanya sebuah adegan
fiksi yang kubuat untuk menggambarkan kasus yang sama.
“Yang paling banyak mengerti
diri kita, adalah Allah dan diri kita sendiri.” Orang lain hanya tahu secuil
tentang diri kita. Tahu secuil kehidupan kita.
Maka dari itu aku
menulis, karena menurutku menulis adalah cara terbaik untuk menasehati diri
sendiri tanpa merasa dinasehati.
Menulis adalah cara
terbaik bertanya sekaligus memperoleh jawaban karena sejatinya sebuah pertanyaan
yang terlontar dari kepala, biasanya hati kita sendiri sudah tahu jawabannya.