Tangan kanan terasa
berat, otak juga sudah tidak mampu berfikir dengan normal. Bermain dua kali
badminton dengan rubber set semua membuat nafas tersengal-sengal. Sadar sudah
tidak bisa bermain lagi, siang itu aku memutuskan untuk pulang duluan sambil
rebahan di kamar.
“Bruk” badan
langsung ambruk di atas bantal, dengan kipas angin menyala setidaknya bisa
mengurangi gerah akibat gerah dan panasnya matahari jogja. Dalam rebahan itu,
kupandangi deretan buku-buku di rak kamarku. Aku amati mereka satu per satu,
tiap-tiap judul. Antara posisi sadar dan sudah terlelap dalam tidur, buku-buku
itu seolah bertanya kepadaku.
“Mau kau apakan
diriku?”
“Maksudmu?” tanyaku
tidak mengerti. Buku yang bisa berbicara saja sudah membuatku terheran-heran,
dan kini buku itu justru bertanya kepadaku mau kuapakan mereka.
“Kau mau jadi
makhluk seperti apa, apa yang sebenarnya kau inginkan dari kami yang
berderet-deret ini?”
Aku mulai paham apa
yang dia tanyakan. Mulai mengerti apa yang dimaksudkan. Buku-buku itu bertanya
padaku apa yang kuinginkan dari sebuah buku. Pertanyaan yang sederhan.
“Aku ingin membaca
dirimu dan sebanyak mungkin membaca teman-temanmu.”
Buku itu seakan
menyunggingkan senyum yang manis. Aku merasa ia seolah sedang memandangiku
lamat-lamat meskipun aku tak tahu bagian yang mana dari buku tersebut yang
menjadi matanya. Ia menarik nafas, dan buku itu mengatakan sesuatu.
“Mambacaku, kan?
Bukan memilikiku. Kau tidak harus punya semua buku, tapi kau harus membaca
semua diriku dan teman-temanku.”
Bunyi baling kipas
angin kini terdengar di telingaku. Keringat juga masih mengucur dari tubuhku
yang terbaringkan. Belum cukup lama terkena angin untuk mengering. Aku lihat
kembali deretan buku di sisi rak buku kamarku. Mereka diam saja.
“Jadi siapa yang
tadi berbicara kepadaku?”
Yogyakarta, November
2016
0 komentar:
Posting Komentar