2 November 2016
Namaku
Jono, Teman-teman memanggilku Jon. Aku sekarang duduk di kelas 6 dan baik para
guru dan teman-temanku menyebutku orang paling pandai di sekolah. Sudah tampak
jelas alasannya tanpa harus kusebutkan bukan? Karena aku selalu mendapat
rangking satu.
Selalu.
Selain
dikenal sebagai siswa paling pandai di sekolah. Teman-temanku juga menyebutku
sebagai pemain basket SD terhebat. Aku jadi malu.
Aku
jadi malu, karena aku tidak sehebat apa yang mereka pikirkan. Aku tidak sehebat
itu.
Aku
mau bercerita padamu, boleh? Aku hendak bercerita tentang rahasiaku. Barangkali
kau tertarik.
***
Namaku
Jon. Kebetulan aku suka basket. Orang tuaku membelikan ring yang dipaku di
tembok dan sebuah bola basket ketika aku masih duduk di kelas satu. Maka
semenjak saat itu aku sering iseng main-main melemparkan bola itu agar masuk ke
keranjang. Kalau mau berangkat sekolah dan melihat bola basket tergeletak di halaman rumahku. Aku pasti
melemparkannya. Aku tidak peduli itu masuk atau tidak. Yang penting aku terus
melempar bolanya ke keranjang. Dan itu kulakukan setiap kulihat bola di halaman
rumahku.
Kebetulan
ketika kelas tiga, Guru olahraga kami senang sekali dengan mencari siapa paling
hebat di antara kami. Misalnya saja jika pelajaran olahraganya berupa lari,
maka kami akan diajak lomba lari antara aku dan kawan-kawanku. Di sekolahku juga
ada sebuah lapangan basket dan saat itu
jam pelajaran olahraganya juga tentang basket. Dan kau pasti tahu apa yang
dilakukan guru olahragaku kan? Beliau melatih kami sebentar untuk menembakkan
bola ke jaring dan kemudian melombakannya sebagai ujian.
Tidak
ada satupun temanku yang berhasil memasukkan bola ke dalam jaring kecuali
diriku (kau ingat kalau keseharianku adalah melempar bola ke keranjang saat melewati
halaman rumah kan?). Saat itu guru olahragaku tertarik padaku.
“Wah
kau berbakat sekali Jon.”
Padahal
saat itu yang aku bisa hanya melemparkan bola ke jaring. Aku belum tahu soal
dribble, mengoper ataupun teknik-teknik lain dalam bola basket. Kalau aku
bandingkan dengan teman-temanku keunggulanku hanya sedikit di antara
teman-temanku. Hanya bisa melempar bola dan kebetulan masuk saat diujikan. Itu saja.
Tetapi
sejak hari itu, guru olahragaku meminta untuk latihan bersama tiap sore di
lapangan sekolah sedangkan teman-temanku tidak diajak seperti itu. Hampir tiap
sore, kecuali di hari sabtu-minggu. Aku diberi latihan-latihan khusus,
teman-temanku tidak. Aku diajarkan mendribble dan mengoper bola sedangkan
kawanku tidak.
Jadinya
kemampuanku yang dulu hanya bisa lebih melempar bola menjadi jauh lebih tinggi
dibanding teman-temanku yang lain. Perbedaan kemampuanku dan temanku menjadi
semakin membesar.
Padahal
kupikir, jika teman-temanku juga ikutan latihan khusus dari guru olahragaku,
pasti mereka sama hebatnya sama diriku. Bahkan bisa jadi lebih baik daripada
aku.
Sekarang
kau tahu kan? Aku bukannya berbakat. Aku hanya beruntung saat ujian melempar
bola, bolaku masuk. Dari situ aku mendapat latihan yang tidak didapatkan orang
lain. Maka sudah wajar kalau kemampuanku
di atas teman-temanku yang tidak mendapat latihan sepertiku.
Untuk
aku yang selalu rangking satu. Kau pasti bisa mengira apa yang terjadi. Karena kebetulan
nilaiku bagus, aku rangking satu. Karena aku rangking satu, aku jadi mendapat
perlakuan yang agak berbeda dari guru-guruku. Kadang kalau aku tidak paham akan
suatu pelajaran guruku akan lebih sabar kepadaku. Dan itulah kenapa aku selalu
rangking satu.