22
September 2016
Sekelompok
siswa itu tengah duduk-duduk di lapangan sambil mengatur nafas. Beberapa butir peluh
terlihat menetes dari kening para siswa. Mereka terengah-engah setelah berlari
sekuat tenaga memutari lapangan sepakbola sebanyak tiga kali pada jam olahraga.
Bahkan Rehan dan kawannya yang bernama Reza tengah
menggelepar di atas rumput hijau, ketika kloter yang lain tengah bersiap di
garis start.
“Sialan, larinya Indra kencang sekali. Dan lihat di
sana, dia sama sekali tidak tampak kelelahan seperti kita berdua.” Gumam Rehan
kepada teman sebelahnya yang ikut terkapar.
“Hahaha, iya. Nafasku serasa hampir minta cuti dari
tenggorokan.”
“Za,”
“Kenapa?”
“Kau tadi sudah lihat kan betapa kencangnya lari si
Indra itu?”
“Iya, terus?”
“Bulan depan akan ada turnamen lari tingkat kabupaten.
Dan aku tahu Indra sudah mendaftarkan diri. Menurutmu apa ada kemungkinan aku
bisa mengalahkannya? Ataukah lebih baik aku tidak ikut mendaftar saja karena
sudah ada dia?”
“Kau mengalahkan Indra dalam hal lari? Kemungkinannya
sangat kecil.”
Rehan masih memandang langit dari tempat dia
berbaring. Mau bagaimanapun juga, apa yang diucapkan kawannya Reza memang
benar.
“Tapi aku tahu satu hal…” Reza berdiri sambil mengelap
keringat dengan handuknya. Handuk yang sekarang begitu basah oleh keringat. Di
tangan kirinya ia menggegam sebotol minuman.
“Tahu apa?”
“Tapi jika kau tidak mendaftar, kemungkinan itu tak
kan pernah ada.” Reza berlari setelah melempar handuk basahnya tepat di wajah
Rehan.
“Awas kau, jangan lari!” Rehan beranjak dan langsung
mengejar kawannya yang berlari menghindarinya. Rehan berlari dengan tertawa.
0 komentar:
Posting Komentar