September
2016
Namaku Diko, dan aku selalu iri
dengan Ciko, rangkingnya di kelas selalu menduduki peringkat teratas di kelas
kami. Kau perlu tanya berapa rangkingku? Aku pikir tidak perlu kusebutkan
angkanya, yang jelas selalu berada di sepuluh terakhir dari bawah.
Aku pikir aku merasa selalu iri
kepadanya, setiap sore aku selalu bisa melihat Ciko keluar dari rumah di antar
oleh sopirnya. Aku pernah bertanya langsung kepadanya, tiap sore itu pergi
kemana? Dan seperti yang sudah kuduga, sorenya dia belajar di tempat les sampai
malam. Sore dia mempelajari pelajaran di sekolah, malamnya ternyata ia belajar
tentang kesenian. Biola dan melukis lebih tepatnya.
Iya, aku selalu iri dengan dirinya,
ketika teman-teman mendekat dan bertanya tentang soal-soal sulit di kelas.
Melihat itu aku jadi sering berpikir.
Oh seandainya kehidupanku berada di
kehidupannya.
***
Namaku Ciko, memang aku selalu
berada di rangking satu di kelasku. Dan untuk terus mencapai peringkat itu,
orangtuaku memintaku untuk datang les tiap sore untuk pelajaran sekolah, dan
les kesenian di waktu malamnya. Tapi apakah aku pikir aku bahagia dengan segala
juara di kelas itu? Jujur aku tidak tahu bahagia atau tidaknya. Yang aku tahu
pasti, aku merasa iri dengan kawan kelasku yang bernama Diko.
Meskipun peringkat di kelas dia
tidak pernah di atasku, tapi jujur aku iri dengan Diko. Orang-orang datang
kepadaku dengan membawa soal matematika maupun ipa, tapi teman-teman yang
datang kepada Diko selalu bercerita apa saja. Mereka terlihat nyaman ketika
berada di samping Diko. Sedangkan jika di sampingku, ketika sudah dapat jawaban
dari soal mereka berterima kasih dan pergi begitu saja.
Sering ketika aku keluar gerbang
untuk berangkat les pelajaran, kulihat Diko dan kawan-kawanku sedang bermain
bola atau layang-layang di lapangan.
Tampak hidup dia begitu
menyenangkan.
Oh seandainya kehidupanku berada di
kehidupannya.