Angin masih kuat berhembus, menggoyangkan
dedaunan dari pohon bambu dan kelapa di sebelah rumah. Debu-debu turut beterbangan,
sesekali membentuk miniatur pusaran beliung yang membuat sampah plastik dan
daun berputar-putar. Angin itu masih berhembus kuat, hingga
menggoyang-goyangkan pintu kamar dimana ada seorang lelaki yang tengah
berbaring di kasur lesehannya.
Lelaki yang sedang memegangi gawai putihnya,
mengetikkan pesan ke seorang kawan. Ia bertanya apakah ada masukan atau
komentar terkait tulisan yang ia buat.
“Sori banget, baik cerbung, fabel maupun
novel ini nggak dapat feelnya. Aku hanya melihat orang dewasa yang kekanakan.
Bukan anak kecil dengan segala dunianya. Kalau baca tulisanmu, sorry to say,
Flat.”
Pesan-pesan lain pun masuk, seolah saling
berebut masuk ke gawai putih itu.
“Intinya, aku suka ide-ide ceritamu. Tapi
delivery-nya nggak dapat. Kau jago di ide, tapi justu lemah di penyampaian dan gimana
agar bisa membangkitkan feel melalui narasi. Ceritamu masuk di akal dan logika,
cuman gersang.”
Lelaki itu memejamkan matanya barang sejenak.
Berusaha menikmati hembusan angin yang masuk ke kamarnya.
“Mungkin saja aku terlalu terbuai dengan
kalimat ini. Menulislah sebanyak-banyaknya. Ntar juga kau bakalan bisa dengan
sendirinya.”
“Kalimat itu tidak sepenuhnya salah, tapi
juga tidak sepenuhnya benar. Yang kutahu pasti, kalau kau tidak pernah
menuliskannya sama sekali, kau tidak akan belajar apa-apa.”