“Mau
kemana kamu?” tanya Jip.
“Saya
harus memberi makan ayam,” jawab Janeke.
Dia
membawa sepiring gabah. Dan beberapa potong jagung.
“Saya
ikut,” kata Jip.
Mereka
pergi bersama-sama ke kandang ayam. Kandang ayam di kebun Janeke.
Petok,
petok, petok suara ayam-ayam terdengar riuh.
“Ayam-ayam
itu sudah melihat piring ini,” kata Janeke. Aym-ayam itu mengepak-ngepakkan
sayapnya pada kawat kandang.
Janeke
membuka jendela kandang sedikit dan menyebarkan makanan ke dalam kandang.
“Saya
juga,” kata Jip.
Dia
juga mengambil segenggam penuh untuk disebarkan.
“Au!”
Jip menjerit tiba-tiba.
Ayam
jantan mematuknya. Ayam jantan itu terlalu rakus. Dia melompat tinggi dan
mematuk Jip.
“Ayam
nakal!” teriak Jip. “Lihat, dia mendorong ayam-ayam lainnya. Dia mau seenaknya
saja. Ayam nakal!”
Tidak
lama kemudian piring itu sudah kosong.
“Akan
bertelurkah mereka sekarang?” tanya Jip.
“Saya
tidak tahu,” kata Janeke.
“Tidak
tahu? Tetapi itu kan ayam-ayam kamu?”
“Ya,”
kata Janeke. “Tetapi mereka akan bertelur di dalam bak itu. Dan mereka bertelur
pada malam hari, saya kira.”
“Ayam
jantan itu juga?”
“Ayam
jantan itu tidak,” kata Janeke. “Ayam jantan belum pernah bertelur.”
Jip
menatap ayam jantan itu lama sekali. Dan ayam jantan itu menantang Jip. Dia
berdiri membusungkan dada dan berkokok, “Kukuruyuuuuuuk!”
“Huh,”
kata Jip. “Dia terlalu rewel. Dia mau makan paling banyak. Dan dia mendorong
yang lain. Dia bertingkah seolah-olah raja. Dia berdiri dengan membusungkan
dada dan membuat keributan. Tetapi, untuk bertelur? Huh, mana bisa?”
Jip
menjulurkan lidahnya pada ayam itu.
Tetapi,
ayam jantan itu tidak menghiraukannya.
- Entah kenapa, cerita sederhana yang kutemukan di buku Jip dan Janeke #2 ini terasa begitu bermakna.