Sabtu, 07 Januari 2017

Puncak dan Lembah

Puncak dan Lembah

Selain menulis dan membaca, hobiku adalah lihat-lihat tumpukan buku di sebuah toko ataupun event pameran. Berharap barangkali menemukan buku yang menarik dengan harga tidak terlalu mencekik. Kadang di sebuah pameran dengan penataan buku yang ‘agak berantakan’ (ditumpuk-tumpuk doang gitu), aku bisa menemukan buku yang menarik meskipun kadang sudah tidak bersegel ataupun kertas berwarna kuning.

Tapi buku tetaplah sebuah buku bukan? Meskipun dalam kondisi apapun.

Saat itu aku menemukan buku berwarna putih ini. Ia berada di tumpukan antah berantah namun berdempetan dengan judul yang sama. Buku yang sempat kupikir tidak terlalu menggiurkan dan membuatku tertarik.

“Ini berapa?”
“Lima ribu, Mas.”
                “Oh, iya?”

Aku ambil dua-duanya. Meskipun awalnya tidak menarik, tapi mendengar harganya cuma lima ribu aku jadi malahan membeli dua (jangan ditiru ya). Aku beli, bayar, bawa pulang, dan kemudian kutaruh rak buku di kamar begitu saja.

Buku dengan judul Peaks and Valleys.

***

Akhir-akhir ini  suka baca buku yang random, sometimes meskipun tidak terlalu tertarik ketika melihat judulnya, aku akan memaksakan membacanya. Dan saat itu kulihat buku dengan sampul putih hardcover ini.

Saat kubuka kukira akan kujumpai semacam buku teori-teori pada umumnya. Ternyata aku salah, meskipun tulisannya bergenre pengembangan diri, buku tersebut justru berisi sebuah cerita. Cerita tentang seseorang yang sedang bercerita menceritakan perjalanannya tentang puncak dan lembah. Hanya butuh sekitaran dua – tiga jam untuk menghabiskan keseluruhan buku yang berisikan 144 halaman ini.

(Dari tadi kebanyakan intro ya, skip skip).

Buku ini bercerita tentang seseorang yang hidup di lembah, dan merasa ada sesuatu yang salah ketika ia berlama-lama di sana. Sampai suatu hari, ia telah mempersiapkan bekal dan mendaki sebuah bukit untuk berdiri di puncak. Saat itulah ia bertemu dengan Pak Tua di puncak tersebut. Meskipun belum dikenalnya, entah bagaimana ia telah menceritakan kehidupannya yang dirasanya pahit kepada Pak Tua.

“Kau tahu alat untuk membaca detak jantung itu, Nak?” tanya Pak Tua. Pemuda itu mengangguk.

“Garisnya harus ada naik dan turun. Harus ada puncak detak dan turun tidak ada detak. Itu yang menandakan bahwa tubuhmu masih hidup, dan itu pula yang membuatmu merasakan gairah kehidupan.”

“Bisa kau bayangkan kalau garis itu hanya datar lurus saja?”
“Saya mati, dong.”

Pak Tua itu tertawa.
***

Cerita dalam buku Puncak dan Lembah ini dipenuhi dengan sebuah catatan-catatan kecil mengenai kehidupan. Tentang bagaimana kita menandang hidup sebagai Puncak dan Lembah yang saling berkaitan. Puncak bukanlah saat kau berdiri di atas segalanya, tapi melainkan hatimu yang merasa bersyukur meskipun di keadaan paling dasar sekalipun.

Terkadang butuh mengarungi lembah untuk menuju ke puncak yang lebih tinggi. Butuh persiapan agar matang agar ketika berada di puncak kita bisa bertahan lebih lama di sana. Butuh penghayatan lebih mendalam mengapa dan apa yang menyebabkan kita berada di lembah, dan kita melakukan hal yang sebaliknya dengan penyebab tersebut. Sehingga kita akan kembali ke puncak.

Buku yang semula tidak tertarik untuk kubaca, ternyata begitu menarik.

“Ah iya, dont jugde book from cover itu ada benarnya. Apalagi just from the title.”


0 komentar:

Posting Komentar