Puncak dan Lembah
Selain menulis dan
membaca, hobiku adalah lihat-lihat tumpukan buku di sebuah toko ataupun event
pameran. Berharap barangkali menemukan buku yang menarik dengan harga tidak
terlalu mencekik. Kadang di sebuah pameran dengan penataan buku yang ‘agak
berantakan’ (ditumpuk-tumpuk doang gitu), aku bisa menemukan buku yang menarik
meskipun kadang sudah tidak bersegel ataupun kertas berwarna kuning.
Tapi buku tetaplah
sebuah buku bukan? Meskipun dalam kondisi apapun.
Saat itu aku menemukan buku
berwarna putih ini. Ia berada di tumpukan antah berantah namun berdempetan
dengan judul yang sama. Buku yang sempat kupikir tidak terlalu menggiurkan dan
membuatku tertarik.
“Ini berapa?”
“Lima ribu,
Mas.”
“Oh, iya?”
Aku ambil dua-duanya.
Meskipun awalnya tidak menarik, tapi mendengar harganya cuma lima ribu aku jadi
malahan membeli dua (jangan ditiru ya). Aku beli, bayar, bawa pulang, dan
kemudian kutaruh rak buku di kamar begitu saja.
Buku dengan judul Peaks and Valleys.
***
Akhir-akhir ini
suka baca buku yang random, sometimes meskipun tidak terlalu tertarik
ketika melihat judulnya, aku akan memaksakan membacanya. Dan saat itu kulihat
buku dengan sampul putih hardcover ini.
Saat kubuka kukira akan kujumpai semacam buku teori-teori
pada umumnya. Ternyata aku salah, meskipun tulisannya bergenre pengembangan
diri, buku tersebut justru berisi sebuah cerita. Cerita tentang seseorang yang
sedang bercerita menceritakan perjalanannya tentang puncak dan lembah. Hanya
butuh sekitaran dua – tiga jam untuk menghabiskan keseluruhan buku yang
berisikan 144 halaman ini.
(Dari tadi kebanyakan intro ya, skip skip).
Buku ini bercerita
tentang seseorang yang hidup di lembah, dan merasa ada sesuatu yang salah
ketika ia berlama-lama di sana. Sampai suatu hari, ia telah mempersiapkan bekal
dan mendaki sebuah bukit untuk berdiri di puncak. Saat itulah ia bertemu dengan
Pak Tua di puncak tersebut. Meskipun belum dikenalnya, entah bagaimana ia telah
menceritakan kehidupannya yang dirasanya pahit kepada Pak Tua.
“Kau tahu alat untuk
membaca detak jantung itu, Nak?” tanya Pak Tua. Pemuda itu mengangguk.
“Garisnya harus ada naik
dan turun. Harus ada puncak detak dan turun tidak ada detak. Itu yang
menandakan bahwa tubuhmu masih hidup, dan itu pula yang membuatmu merasakan
gairah kehidupan.”
“Bisa kau bayangkan
kalau garis itu hanya datar lurus saja?”
“Saya mati, dong.”
Pak Tua itu tertawa.
***
Cerita dalam buku Puncak
dan Lembah ini dipenuhi dengan sebuah catatan-catatan kecil mengenai kehidupan.
Tentang bagaimana kita menandang hidup sebagai Puncak dan Lembah yang saling
berkaitan. Puncak bukanlah saat kau berdiri di atas segalanya, tapi melainkan
hatimu yang merasa bersyukur meskipun di keadaan paling dasar sekalipun.
Terkadang butuh
mengarungi lembah untuk menuju ke puncak yang lebih tinggi. Butuh persiapan
agar matang agar ketika berada di puncak kita bisa bertahan lebih lama di sana.
Butuh penghayatan lebih mendalam mengapa dan apa yang menyebabkan kita berada
di lembah, dan kita melakukan hal yang sebaliknya dengan penyebab tersebut.
Sehingga kita akan kembali ke puncak.
Buku yang semula tidak
tertarik untuk kubaca, ternyata begitu menarik.
“Ah iya, dont jugde book from cover itu ada
benarnya. Apalagi just from the title.”
0 komentar:
Posting Komentar