Judul Buku :
Extraordinary
Penulis : Dea Tantyo Iskandar
Penerbit : Duta Media Tama
Tebal
buku : x + 314
Terbit : Pertama,
Oktober 2016
ISBN : 9786026016508
Kita sering terkagum-kagum dengan orang hebat yang diwartakan di
berita-berita, tapi kita lupa bahwa semenjak kecil ada orang hebat yang selalu
menggenggam tangan kita. Ia menyediakan rumah, tanah dan kebebasan untuk kita
berkembang melalui perjuangan mereka yang berdarah-darah. Mereka itu adalah orang
hebat, dan orang hebat itu adalah bapak kita sendiri.
Begitulah yang ingin disampaikan Dea Tantyo dalam buku seri kedua Leadership Talk berjudul Extraordinary ini. Dea Tantyo ingin
memperkenalkan para bapak bangsa kita
sendiri yang telah berjuang penuh peluh dan darah untuk menghadiahkan
kemerdekaan kepada kita, anak-anak mereka.
Buku yang hadir setelah seri pertama berjudul Leiden ini
menyuguhkan dan menghadirkan kembali ke dalam ruang baca kita sosok-sosok dan
keteladanan para founding father
bangsa. Kita sedang mencari negarawan;
pemimpin teladan yang rela merancang peta negara di atas prahara sejarah
manusianya. Bukan malaikat. Hanya manusia biasa yang tela menggantungkan
cita-cita bangsa di langit pemikirannya. Mungkin gambaran itu bisa kita
telusuri dari sini. Dari sejarah perjuangan kemerdekaan. (hlm. 10).
Kita dikenalkan dengan kegigihan dan kepiawaian orasi ala
Soekarno, ketenangan dan bagaimana kutu-bukunya seorang Mohammad Hatta, Kecerdasan
milik “The Grand Old Man” H. Agus Salim, Kejujuran dari seorang polisi yang tak
bisa disuap, Polisi Hoegeng dan solidaritas dari tiga serangkai yang dipenjara
lantaran mengkritik Belanda melalui pena tajamnya kala itu.
Buku ini mengajak kita untuk melihat dari sisi positif para
pendahulu-pendahulu kita. Bahwa setiap
pemimpin punya kekurangan, itu benar. Seorang pemimpin bukan makhluk mitologis
bersayap, yang turun dari langit membawa pednag dan menuntaskan semua masalah,
lalu terbang kembali menuju langit. Bagaimanapun selalu ada sisi positif yang
bisa kita lihat (hlm. 55).
Kita mengerti benar bagaimana setiap pidato Bung Karno begitu
bersemangat dan berkobar-kobar. Hal itu tidak didapatkan secara instan seperti
merebus mie yang siap unuk dimakan. Soekarno kecil berlatih orasi tiap malam.
Memandangi cermin, naik ke atas meja di kosannya hingga teriak-teriak tengah
malam, hingga sering kawan dan ibu kostnya merasa terganggu. Mereka
terheran-heran dengan teriakan Soekarno tiap malam. Namun hasilnya? Practice makes perfect.
The
difference between ordinary and extraordinary is that little “extra” (hlm. 136)
dan mereka yang berjuang untuk merebut kemerdekaan telah melakukannya.
Dalam buku ini jelas digambarkan bahwa pemimpin itu bukanlah
posisi atau jabatan melainkan pengaruh dan kebermanfaatan. Pemimpin bukanlah
mereka yang berada di atas, melainkan berada di tengah-tengah yang dipimpinnya.
Ia telah selesai dengan urusannya sendiri, sehingga mampu maksimal untuk
menyelesaikan persoalan masyarakat. Para pemimpin jelas dituntut untuk
berprestasi sekaligus memberi. Setiap
orang bisa berprestasi. Namun tidak semua orang bisa memberi. Karya terbesar
bukanlah atas apa yang didapatkan. Melainkan apa yang telah kita berikan (hlm.
156)
Disuguhkan dengan runut dan diselingi sosok-sosok tokoh dunia
menjadikan buku ini seperti melihat buku album tokoh-tokoh tanpa harus melalui
sketsa rupa.
Extraordinary
ini juga bukanlah sebuah kitab suci yang turun dari langit tanpa cela. Seri kedua ini memang disajikan
lebih runtut daripada seri pertama yang berjudul Leiden. Namun, bagi yang telah
membaca buku Leiden sebelumnya, buku Extraordinary ini beberapa kisah yang
dihadirkan sama dengan buku pertama. Seolah-olah Dea Tantyo ingin meminta
pembaca mengulang kenangan-kenangan untuk bisa diambil pelajaran dari para Founding Father bangsa.
Pada akhirnya, seperti yang disampaikan Bung Karno saat berorasi
di tengah lautan manusia di Lapangan Ikada. “Sesudah
kita merdeka, tidak waktunya lagi untuk berbicara banyak, tapi untuk berbuat
banyak” (hlm. 154).