Mony
adalah seekor monyet. Ia suka makan apa saja, selama itu bisa digigit, dikunyah
dan ditelan. Tentu Mony tidak suka batu, karena ia pernah mencobanya dan yang
ada malah giginya hampir patah ketika menggigitnya.
Mony
juga awalnya mau makan rumput, tapi ketika ia memakannya, semua kawan dan
monyet dewasa memandangnya dengan tatapan heran dan tidak percaya, jadilah Mony
tidak mau makan rumput lagi meskipun sebenarnya ia suka. Rumput bukan makanan
monyet, hal itulah yang ia terus percaya. Hingga pada suatu hari, Mony sesekali
mencoba menelan rumput kembali, tapi ia muntahkan seketika. Padahal rumput yang
sama dan tentunya rasa yang sama.
Suatu
hari, ayah Mony pulang dari hutan di seberang lautan dengan membawa buah yang
beraneka ragam. Pisang, semangka, buah naga, anggur, kelengkeng, manggis, tebu,
dan lain-lainnya. Jumlahnya memang tidak banyak, tapi ayahnya juga membawa
bibit segala jenis buah yang ia bawa.
Dari
itu semua, Mony sangat menginginkan pisang. Ia ingin segera mencicipinya, buah
yang menurut para monyet di hutan tersebut adalah buah terlezat di dunia. Dan
karena semua monyet bilang seperti itu, jadilah Mony percaya bahwa kelezatan pisang
tiada tara. Mony tak ingin mencoba buah-buah lainnya yang selama ini belum pernah
ia rasakan rasanya. DI pikrannya, hanya pisang, tak perlu yang lain.
“Mony, sayang.
Sabar, Nak. Itu pisangnya belum matang, masih hijau begitu. Sabar ya, mending
Mony simpan dulu beberapa hari biar matang dulu.”
Mony
menahan air ludahnya berkali-kali.
“Baiklah,
Pisang yang terbaik adalah pisang yang bisa dimakan!” Mony menyerah. Ia
menyimpan sendiri pisangnya, menengoknya berkali-kali, menunggu pisang yang
berwarna hijau untuk menguning.
Dua
malam berikutnya, beberapa anak monyet di hutan tersebut dilanda sebuah
penyakit. Penyakit yang kata tetua Monyet akan sembuh hanya bila diberi obat
berupa pisang yang baru matang.
Melihat
kondisi anak-anak monyet yang begitu parah dan menggigil, akhirnya Ibu Mony
menawarkan pisangnya untuk dijadikan obat. Selang beberapa saat, anak-anak
tersebut berangsur membaik.
“Terima
kasih pisangnya, ya. Saya tidak tahu lagi bagaimana jadinya bila Ibu Mony tidak
memberi pisang kepada anak-anak saya!” ujar Ibu anak-anak monyet tersebut penuh
terima kasih.
Ibu
Mony hanya tersenyum, di benaknya sekarang merasa bingung dengan pisang yang
sudah habis. Pisang yang ditunggu-tunggu oleh anaknya, Mony.
“Ibu,
pisang Mony mana?” Tangisnya pecah saat ia tidak bisa menemukan pisang yang
selama ini ia nantikan. Ia sudah mencari kesana-kemari, tapi tidak kunjung
ketemu juga.
“Pisangmu
Ibu jadikan obat, Nak. Anak-anak monyet sebelah sakit parah, dan pisang yang
baru matanglah yang jadi obatnya.”
“Tapi
kan, Bu?” Tangisnya semakin keras, dari sudut matanya bercucuran air mata, sambil memukul-mukulkan tangannya ke tanah.
Mony menangis, untuk waktu yang cukup lama sampai ayahnya pulang.
Ibu
Mony menceritakan semuanya kepada ayah.
“Mon,
lihat mata ayah.”
Mony
menoleh, masih dengan tangis yang cukup keras.
“Kan
pisang itu juga buat kesembuhan teman-teman Mony juga, kalau teman-teman Mony
sakit, ntar Mony mainnya sendirian dong. Kan nggak enak kalau mainnya sendirian
doang.”
Suara
tangisnya berkurang.
“Yang
paling penting, Mony menangis meraung-meraung seperti ini. Apa cuma pisang itu
yang Mony punya?” tanya Ayah Mony sambil mencoba untuk menyuapi sepotong
semangka kea rah mulut Mony.
“Mony
belum pernah makan semangka, kan?”
Mata
Mony yang basah karena tangis, kali ini berbinar. Ia belum pernah makan
semangka sebelumnya, dan tidak menyangka kalau rasa manis dan berair dari
semangka bisa seenak itu. Ayah Mony kemudian menyuapi buah-buahan lain, dan
Mony takjub dengan rasa-rasanya. Apalagi kelengkeng dan tebu. Ia tidak pernah
berpikir, bahwa sesuatu yang berbentuk seperti tongkat itu bisa ia gigit dan
mengeluarkan rasa manis yang luar biasa.
“Mony
masih punya banyak hal lain, kan? Dan yang paling penting, ayah membawa hadiah
ini. Bibit-bibit yang Mony makan tadi. Dari bibit ini, Mony bisa menanamnya
sendiri dan Mony akan dapat buah yang lebih banyak lagi dari ini kalau Mony
benar-benar merawatnya.”
Mony,
mengangguk. Pisang yang ia tangisi, sudah tidak lagi ia pikirkan. Ia kini
justru merasa bersemangat untuk segera menanam bibit-bibitnya.
Mony
adalah seekor monyet, ia suka makan apa saja yang menurutnya dan terkadang ia
suka makan rumput juga seperti sedia kala. Tak peduli bagaimana tanggapan
monyet lain melihatnya. Ketika suka, ia akan bilang suka. Ketika tidak suka, ia
akan bilang tidak suka.
Gambar dari sini