22 Juni 2016
Ada
satu nikmat yang sering terlupa karena kadang kita merasa menemukan yang lebih
baik, ia adalah kesempatan.
Selepas
terawih kemarin malam, entah sebuah kebetulan yang direkayasa atau bukan,
temanku yang teraweh di masjid pogung raya mendapat rezeki untuk bisa bertemu
salah seorang dosen teknik. Ia berniat menyampaikan pesan kawannya terkait
wisuda yang tertunda.
Ketika
sholat isya, kami berdua tak menemukan sosok dosen yang kami cari. Dalam
hatiku hanya berucap, “durung rejeki mas
ketemu dino iki,”. Lantas setelah ceramah teraweh selesai dan sholat hendak
dimulai, kawanku yang dari tadi kita berjejeran satu shaf melangkah maju ke
depan. Mengisi sela-sela shof yang masih
bisa dipenuhi.
Ia
maju ke depan, dan seorang lain di sampingku akhirnya maju. Pun di sampingnya
sampingku sekarang orang baru, dan setelah kutengok, beliau adalah dosen yang
kami cari. Dari shof pertama dan ketiga, aku dan kawanku saling pandang sambil
melempar lirik dan senyum. “Yang dicari-cari malah datang sendiri ketika sudah
tak dicari. Rejekimu, mas.” Batinku.
“Jadi
begini, Pak. Teman saya hendak menanyakan wisudanya yang sudah tertunda lama.”
“Lho?
Kalau dia sudah nggak ingin wisuda ya jangan dipaksa untuk wisuda tho mas?”
jawab dosen tersebut sembari menoleh ke arah saya sambil melempar senyum. Aku
sendiri jadi celingak celinguk bingung dan akhirnya senyam senyum sambil
menggaruk-garuk kepala. Jadi temannya
temanku hanya tinggal sedikit lagi wisuda, namun entah karena hal apa, beliau
tidak melanjutkan studinya (hilang) beberapa tahun. Dan entah karena hal apa
juga, beliau jadi ingin wisuda. Dan untuk itu, meminta temenku untuk
menyampaikan hajat kepada dosen yang berkepentingan. Begitu.
“Ini
tidak terjadi sekali dua kali lho, mas. Yang seperti ini sudah berulang kali
sejak jaman dahulu.”
“Wah
iya kah, Pak?” aku jadi tertarik dengan yang dimaksud jaman dahulu dan berulang
kali tersebut. Dua frasa itu akan mengawali rentetan cerita-cerita ‘menarik’
tentang pengalaman beliau. Aku selalu suka dengan beliau ketika bercerita.
“Dulu
pernah ada, karena dia sudah punya usaha dan perusahaan besar, ia berniat tidak
menyelesaikan studinya. Memang ketika itu dia sudah menjadi direkturnya. Dan
menurut dia saat itu, ia memilih untuk tidak selesai (menghilang), padahal
tinggal skripsi. Setelah 22 tahun, dia kembali menghadap saya. “Bro, Aku ko
ingin lulus, bagaimana caranya?” ya aku hanya bisa senyum saja tak bisa
memberikan jawaban.”
“Juga
pernah ada mas, pas kuliah sudah usaha eksportir Amerika. Omsetnya miliaran.
Ketika dia punya anak tiga, dia balik lagi menghadap saya yang temannya waktu
itu. “Biar saya bisa lulus bagaimana
ya?””
“Dan
itu masih banyak kasus lagi yang seperti itu. Puluhan tahun kemudian baru
kerasa pentingnya lulus. Pentingnya menyelesaikan tuntas studi. Sekarang memang
tidak terasa, “wong sudah jadi direktur, atau kesibukan lain yang dalam pikiran
kita sudah tidak penting lagi kita lulus ataukah enggak untuk jenjang sarjana
kita.” Tapi ya itu kenyataannya mas. Lulus itu penting.”
“Kadang
kan kita memang gitu, sering menyia-nyiakan satu nikmat yang bernama
kesempatan. Sudah tinggal lulus, skripsi sudah tak bilangin akan dibantuin
paling 3-4 bulan selesai. Praktikum sudah kudorong-dorong. Intinya sudah
kufasilitasi, tapi orangnya sendiri menghilang, ya saya bisa apa kalau gitu.”
“Bisa
kuliah dan lulus itu kesempatan. Dan banyak lagi kesempatan-kesempatan dalam
hidup, tapi kadang ya yang namanya manusia menyerah dengan kesempatan itu.
Kelak akan terasa seberapa besar anugerah kesempatan itu bagi kita. Dan ketika
masa itu, kita akan berpikir, kenapa tidak kita ambil kesempatan besar
tersebut.”
“Kamu
kapan lulus?” dosen tersebut menjawel tanganku.
“Eh?
Semester depan, Pak.”
“Kamu
2011, tho?”
“2012 -_-“